Abu Nawas yang nampak lucu dan sering menyenangkan orang itu ternyata bisa berubah menjadi garang dan ganas serta mampu membalas dendam terhadap orang yang mengusiknya

Inilah Sikap Rasulullah Ketika Putri Beliau Dimadu


Dalam hadits Bukhari, Abu Daud dan Al-Wadhihah sebuah cerita menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib telah melamar seorang putri Abu Jahal bin Hisyam, lalu Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta restu kepada Rasulullah saw tentang hal itu tetapi beliau tidak memberikan restu kepada mereka. 

Maka keluarlah Rasulullah SAW dalam keadaan marah ke atas mimbar sehingga orang-orangpun berkumpul di sekelilingnya. Setelah mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT beliau bersabda: 

Bani Hisyam bin al-Mughirah telah meminta restu kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib tapi aku tidak mengizinkannya, kemudian aku tidak akan mengizinkannya kecuali jika putra Abu Thalib mau menceraikan putriku dan menikahi putri mereka, karena sesungguhnya putriku itu adalah bagian dariku, akan menggelisahkanku apa yang menggelisahkannya dan menyakitiku apa yang menyakitinya, sekali-kali tidak akan berkumpul putri nabi Allah bersama putri musuh Allah. Sesungguhnya aku khawatir Fatimah akan mendapatkan fitnah dalam agamanya, namun sesungguhnya tidaklah aku mengharamkan yang halal dan juga tidak menghalalkan yang haram. Tetapi demi Allah, tidak berkumpul putri Rasulullah bersama putri musuh Allah di satu tempat selama-lamanya. 

Ini adalah kasus spesial yang tidak dapat ditiru oleh siapapun mengingat sejarah kelam Abu Jahal dan hubungannya dengan Rasulullah SAW pada masa Awal Islam. Juga posisi Abu Jahal dalam surat al-Lahab seolah merupakan kutukan tiada akhir. 

Bentangan sejarah ini menunjukkan betapa poligami dalam Islam semenjak zaman Rasulullah saw selalu mengandung ‘masalah’. Kalimat Rasulullah saw “sesungguhnya tidaklah aku mengharamkan yang halal dan juga tidak menghalalkan yang haram” seolah merupakan konfirmasi kepada umatnya, bahwa Islam memperbolehkan seorang lelaki memiliki istri lebih daru dua, tetapi harus dengan pertimbangan yang matang. Tidak sekedar pertimbangan rasa keadilan (seperti yang dituntut dalam al-Qur’an), tetapi juga estimasi ketersinggungan keluarga istri pertama. (red. Ulil H)
sumber : nu.or.id

No comments :

Post a Comment