Orang Yang Tidak Berkumis dan Tidak Berjanggut Itu Seperti Apa?



Satir-satir dengan menyebut nama-nama binatang muncul dalam kasanah kampanye politik 2014. Political fabel, atau penggunaan hewan sebagai representasi tipikal karakter politisi dan situasi bermunculan dari satu panggung kampanye ke panggung kampanye lain. 

Sebut saja political fabel yang ditunjukkan capres Partai Gerindra Prabowo Subianto. "Kita saat di militer dipimpin dengan keras, komandan kita cerewetnya tidak main-main. Mereka singa anak buahnya pun menjadi singa. Tapi kalau singa dipimpin kambing, nanti singanya bersuara kambing," ujar Prabowo di Hotel Bidakara, Kamis (27/3). Prabowo tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan kambing. 

Penggunaan fabel politik bukan barang baru di negeri ini. Jauh sebelumnya, sindiran-sindiran tentang representasi karakter hewan dalam diri politisi sering disemburkan. 

Salah satu cerita yang melegenda melibatkan Haji Agus Salim, negarawan besar yang diulas sebagai tematik bulan ini . 

Alkisah, dalam sebuah rapat Sarekat Islam (SI), Haji Agus Salim saling ejek dengan Musso, tokoh SI yang belakangan menjadi orang penting dalam Partai Komunis Indonesia. Saat itu, SI memang terbelah antara SI Putih dan SI Merah yang berhaluan pada faham-faham komunisme. Haji Agus Salim menjadi motor SI Putih, sementara Musso di SI Merah. 

Pada awalnya Muso memulai ejekan itu ketika berada di podium. "Saudara saudara, orang yang berjanggut itu seperti apa?" 

"Kambing!" jawab hadirin. 

"Lalu, orang yang berkumis itu seperti apa" 

"Kucing!" 

Haji Agus Salim sadar sedang menjadi sasaran ejekan Musso. Haji Agus Salim memang memelihara jenggot dan kumis. Begitu gilirannya berpidato tiba, dia tak mau kalah.

"Saudara-saudara, orang yang tidak berkumis dan tidak berjanggut itu seperti apa?" 

Hadirin berteriak riuh, "Anjing!" 

Agus Salim tersenyum, puas, lalu melanjutkan pidatonya. Cerita ini dikutip dari Mengikuti jejak H Agus Salim dalam tiga zaman karangan Untung S, terbitan Rosda Jayaputra. 

Kisah lain pernah diungkap oleh Jef Last, penulis Belanda yang berkenalan dengan Haji Agus Salim ketika Agus Salim menemui tokoh SDAP PJ Troelstra di Belanda pada 1930. Cerita Jef Last ini dimuat dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim terbitan Sinar Harapan. 

Jef Last mengutip cerita Sutan Sjahrir kepadanya. "Kami sekelompok besar pemuda, bersama-sama mendatangi rapat di mana Pak Salim akan berpidato dengan maksud mengacaukan pertemuan itu. Pada waktu itu Pak Salim telah berjanggut kambing yang terkenal itu dan setiap kalimat yang diucapkan Pak Haji disahut oleh kami dengan mengembik yang dilakukan bersama-sama. Setelah ketiga kalinya kami menyahut dengan "me, me, me" (mbek), maka Pak Salim mengangkat tangannya seraya berkata. 

"Tunggu sebentar. Bagi saya sungguh suatu hal yang sangat menyenangkan bahwa kambing-kambing pun telah mendatangi ruangan ini untuk mendengarkan pidato saya. Hanya sayang sekali bahwa mereka kurang mengerti bahasa manusia sehingga mereka menyela dengan cara yang kurang pantas. Jadi saya sarankan agar untuk sementara tinggalkan ruangan ini untuk sekadar makan rumput di lapangan. Sesudah pidato saya ini yang ditujukan kepada manusia selesai, mereka akan dipersilakan masuk kembali dan saya akan berpidato dalam bahasa kambing khusus untuk mereka. Karena di dalam agama Islam, bagi kambing pun ada amanatnya dan saya menguasai banyak bahasa." 

"Kami tidak tinggalkan ruangan," kata Sjahrir. "Tetapi kami terima dengan muka merah gelak tawa dari hadirin lainnya," imbuhnya. Masih menurut Sjahrir, sesudah peristiwa itu para pemuda masih melawannya. "Tetapi tidak pernah lagi kami mencemoohkannya," ujar Sjahrir dikutip Jef Last. 

Begitulah Haji Agus Salim. Banyak orang menyebutnya sangat cerdas, tapi juga amat lucu. ( suaranews.com )

No comments:

Post a Comment