Inilah Siasat Abu Nawas Menghadapi Diktator - Kali ini kisah mengenai Nasruddin pada saat harus menghadapi penguasa tiran yang kejam. Ketika Timurleng menaklukkan Anatolia, ia mendengar tentang seorang laki-laki yang bernama Nasruddin yang hidup di Akshehir. Timurleng pergi keAkshehir, berkemah di situ dan kemudian mengirimkan satu peleton serdadu untuk menjemput Nasruddin ke kemahnya.
"Mari, Nasruddin," kata salah seorang serdadu itu. "Sang Maharaja menunggu kamu, kamu ikutlah sekarang."
Nasruddin berpikir bahwa karena Maharaja itu suka membunuh siapa saja yang ditemuinya, maka tidak ada gunanya tergesa-gesa memenuhi undangan tersebut.
Ketika Timurleng menyadari Nasruddin tidak mau segera datang, ia pun mengirim satu peleton serdadu lagi untuk mengundang Nasruddin. Tetapi Nasruddin berkata kepada mereka,
Timurleng menjadi tidak sabar. Ia memerintahkan agar kudanya segera disiapkan. Ia segera melompat ke kuda itu dan langsung melesat ke rumah Nasruddin di pinggiran kota Akshehir.
"Baiklah aku akan segera datang." Namun setelah itu Nasruddin tidak juga datang ke tendanya.
Di desa itu para petani mengerumuni Timurleng, dan beberapa orang di antara mereka yang berada di sekitar rumah Nasruddin berteriak. "Nasruddin cepat-cepat kau!"
Nasruddin pun mengenakan jubah dan serbannya yang besar dan berjalan mendekat Timurleng. Mereka bertemu di sebuah jalan sempit dan kuda yang dinaiki Timurleng begitu takut melihat tampang Nasruddin sehingga hewan itu melompat tinggi-tinggi dan Maharaja pun terpental dari kudanya.
Timurleng menjadi marah sehingga ia memerintahkan serdadu-serdadunya untuk menangkap Nasruddin dan menggantungnya. Setelah ia ditangkap oleh para serdadu itu, Nasruddin bertanya kepada mereka,
"Ke mana kalian ini akan membawa aku?"
"Untuk digantung" jawab mereka. .
"Coba kalian tanyakan kepada si Kurang Ajar itu" kata Nasruddin.
"Aku ingin tahu kenapa aku mesti digantung? Apa salahku?"
Para serdadu itu pun pergi menemui Timurleng dan menyampaikan apa yang tadi dikatakan Nasruddin. Mendengar itu Timurleng berkata,
"Bawa dia kemari!"
Nasruddin pun dibawa ke hadapan Timurleng, dan berkatalah ia kepada sang Maharaja,
"Apa gerangan salah saya, sehingga saya mesti digantung?"
"Kamu telah membawa nasib buruk bagiku" kata Timurleng.
"Siapa yang menyebabkan nasib buruk itu, saya atau Baginda?" tanya Nasruddin. Timurleng terdiam, tak dinyana ada seorang penduduk yang begitu beraninya berkata seperti itu kepadanya.
"Bagindalah yang membawa nasib buruk bagi saya, sebab saya ini akan digantung. Apabila saya yang membawa nasib buruk itu, tentunya Baginda tadi jatuh dari kuda, pecah kepalanya dan mati. Dan berdasarkan itu tentu ada alasan untuk kemudian menggantung saya,"
Mendengar itu Timurleng berpendapat bahwa alasan Nasruddin bisa diterima dan ia pun memutuskan untuk memaafkannya. Tetapi ia mengatakan bahwa ia ingin sekali menanyakan sesuatu kepada Nasruddin.
"Coba bilang aku ini seorang tiran atau seorang yang terpelajar?" bertanya ja kepada Nasruddin.
"Yang Mulia, jawab Nasruddin yang segera tanggap bahwa ia akan dijebak.
"Baginda bukan tiran dan bukan juga seorang yang terpelajar. Kami semua inilah tiran-tiran yang kejam, sehingga Tuhan telah mengutus Baginda untuk menghukum kami."
Sekali lagi Timurleng merasa sangat senang mendengar jawaban cerdas Nasruddin itu dan karenanya dia berkata,
"Baiklah, kalau begitu kamu bebas Nasruddin."
Beberapa waktu kemudian Timurleng mulai mengenakan pajak yang sangat tinggi atas kota-kota dan desa-desa di Turki. Karena mereka terdesak oleh keadaan ini semua tetangga Nasruddin datang ke rumahnya dan salah seorang di antara mereka berkata,
"Nasruddin kamu kan sudah berhasil bersahabat dengan Timurleng. Cobalah datang kepada maharaja itu dan mintalah agar beliau bisa mengurangi pajak yang dikenakan atas desa kita ini."
Nasruddin pergi ke tenda Timurleng dan maharaja itu berkata,
"Selamat datang, Nasruddin, senang sekali aku ketemu kau lagi."
Setelah mereka berbincang-bincang beberapa lamanya. Nasruddin berkata kepada Timurleng,
"Yang Mulia, rakyat desa saya sangat miskin. Maukah Yang Mulia mengurangi pajak yang dikenakan atas mereka?" Setelah berpikir sejenak Timurleng berkata kepada Nasruddin,
"Baiklah, ambil gajah yang diikat diluar tenda dan kemudian suruh penduduk desamu itu memberi makan gajahku dengan begitu mereka tidak usah rnembayar pajak."
Ketika Nasruddin kembali ke desanya membawa gajah itu, seluruh penduduk desa itu merasa sangat senang dengan cara pembayaran pajak yang baru itu. Tetapi dalam waktu kira-kira lima belas hari, gajah itu telah memakan semua tanaman milik petani dan para petani itu pun mulai merasa bahwa gajah tersebut ternyata merupakan beban yang lebih berat dibandingkan dengan pajak yang harus mereka bayar sebelumnya.
Mereka sekali lagi datang pada Nasruddin.
"Nasruddin tolong kau kembalikan gajah ini pada Baginda Timurleng, dan biarlah kami membayar pajak seperti yang dia putuskan dulu itu."
Nasruddin berpikir sejenak mempertimbangkan masalah yang berbahaya ini dan kemudian dia usul agar seluruh penduduk desa itu pergi bersamanya menemui Timurleng. Mereka semua menyetujui usul itu dan mereka pun mengikuti Nasruddin menuju ke tenda sang Maharaja.
Namun, ketika Nasruddin sudah dekat ketenda, ia melihat ke sekeliling dan ternyata semua penduduk desa yang mengikutinya itu sudah kabur karena takut kepada sang Maharaja. Jadi, akhimya dia harus sendirian saja menghadapi Timurleng.
"Ada masalah apa, Nasruddin?" kata Timurleng.
"Hamba datang kemari untuk menyatakan bahwa gajah yang telah Yang Mulia berikan kepada kami ini merasa kesepian. Kami berharap agar baginda bisa memberikan kami seekor gajah betina untuk menemaninya.. Namun Timurleng ternyata sudah diberi tahu tentang penduduk desa yang kabur meninggalkan Nasruddin. Maka berkatalah ia kepadanya,
"Aku telah mengetahui apa yang telah diperbuat orang-orang itu terhadapmu, Nasruddin. Seandainya mereka itu datang menemuiku, tentu permintaan mereka sudah aku kabulkan. Tetapi lantaran mereka menipumu aku akan menghukum mereka. Jadi, sekarang, Nasruddin, kamu boleh pergi."
Beberapa waktu kemudian ketika buah-buahan sudah ranum. Nasruddin berkata kepada istrinya,
"Ayo kita petik buah-buah yang sudah masak untuk kita bawa kepada Maharaja sebagai hadiah."
Mereka berdua pun pergi ke kebun dan mulai mengumpulkan buah ara. Tetapi istrinya segera mengatakan, "Nasruddin, lihat buah pir juga sudah masak. Baiknya kita petik juga beberapa buah pir yang sudah masak sebagai hadiah bagi sang Maharaja."
"Jangan," jawabnya.
"Kamu petik saja yang aku suruh petik. Jadi, petik saja buah ara yang sudah masak."
Beberapa saat kemudian istrinya berkata lagi,
"Lihat buah apel juga sudah masak. Barangkali sang Maharaja juga suka buah apel"
"Jangan, sudah kubilang jangan," kata Nasruddin. Kamu petik saja apa yang telah aku katakan tadi. Jadi, petik buah ara yang sudah masak."
Demikianlah, keduanya mengisi keranjang mereka dengan buah ara yang sudah masakdan Nasruddin pun membawanya ke tenda Timurleng lalu menaruhnya di depan tempat duduk sang maharaja.
"Duduklah Nasruddin, kata Timurleng sambil membuka keranjang. Maharaja pun memungut sebutir buah ara dan melemparkarmya ke wajah Nasruddin. Kemudian ia mengambil sebutir lagi dan melemparkannya ke wajah Nasruddin. Kemudian satu demi satu ia mengambil semua buah ara yang ada di dalam keranjang, dan melemparkannya kewajah Nasruddn. Setelah keranjang itu kosong sama sekali Nasruddin memandang ke atas dan berkata,
"Terima kasih, Tuhan."
"Kenapa kau katakan itu?" tanya Timurleng.
"Yang Mulia," jawab Nasruddin. Seandainya tadi hamba memetik juga buah-buahan yang telah diusulkan oleh istri hamba, tentu sekarang ini hamba tidak lagi memiliki kepala maupun mata. Hamba berterima kasih kepada Tuhan, karena hamba telah menuruti jalan pikiran hamba sendiri, dan dengan demikian hanya memetik buah ara matang yang lunak sebagai hadiah bagi Baginda."
No comments:
Post a Comment