Ketika Perang Jadi Alasan, Rakyat Kembali Jadi Korban - Dunia kembali bergejolak. Dentuman meriam dan kabar ketegangan antara Kamboja dan Thailand mungkin terasa jauh di telinga kita. Tapi jangan salah! Jauh di sana, dampaknya bisa sangat dekat... terlalu dekat bagi dompet rakyat kecil.
Lalu, apa yang harus kita waspadai?
Jangan terkejut jika dalam waktu dekat, media mulai ramai memberitakan: harga beras naik karena konflik Thailand-Kamboja. Jangan heran jika kelangkaan pupuk atau BBM terjadi karena ketegangan regional. Dan jangan kaget jika pemerintah perlu menaikkan pajak demi menjaga stabilitas nasional.
Kenapa ini penting?
Karena kita di Indonesia. Karena sejarah kita sudah terlalu sering mengulang skenario lama:
Peristiwa global dijadikan kambing hitam untuk menutupi kelemahan domestik.
Belajar dari Sejarah: Jangan Terjebak Lagi!
Ingat tahun 2008?
Krisis global menjadi tameng untuk menjustifikasi inflasi dan ketimpangan harga pangan di Indonesia. Padahal, akar masalahnya adalah korupsi dan ketergantungan kita pada impor.
Ingat pandemi COVID-19?
Bukan hanya nyawa yang dirampas virus itu, tapi juga kewarasan kebijakan ekonomi. APBN dibanjiri utang, bansos dikorupsi. Alih-alih membangun kemandirian pangan, kita malah makin tunduk pada logika pasar global.
Dan kini, ketika bayang-bayang perang di Asia Tenggara mengancam, kita harus bersiap. Bukan hanya menghadapi dampaknya, tapi juga propaganda yang mengikutinya.
Fakta dan Data Bicara: Jangan Abai!
Mari kita lihat fakta dan data:
Thailand adalah eksportir beras terbesar kedua di dunia, setelah India. Ketegangan militer bisa mengganggu ekspor mereka ke berbagai negara, termasuk Indonesia yang masih sangat tergantung pada impor pangan.
Menurut data BPS, pada tahun 2023, Indonesia mengimpor lebih dari 3 juta ton beras, sebagian dari Thailand dan Kamboja. Artinya, sedikit saja gangguan di kawasan itu, harga bisa melambung tinggi di pasar lokal.
Pemerintah akan menyebut ini sebagai "kondisi darurat global". Padahal, sejak lama para ahli sudah memperingatkan tentang ketahanan pangan nasional yang rapuh, subsidi pupuk yang terus dipangkas, dan ketergantungan pada utang luar negeri.
Edukasi Politik: Jangan Mau Dibodohi!
Rakyat harus paham bahwa krisis bukan hanya soal luar negeri, tapi soal dalam negeri yang dibiarkan lapuk.
Konflik di luar hanya menjadi alasan sempurna untuk menyembunyikan kegagalan kebijakan di dalam negeri:
- Gagal membangun pertanian yang berdaulat.
- Gagal memperkuat industri pupuk nasional.
- Gagal menjaga daya beli rakyat jelata.
- Dan yang paling memprihatinkan: gagal jujur kepada rakyat.
Ajakan:
Bersatu dalam Barisan Gerakan Rakyat!
Kita tidak boleh lagi hanya menjadi penonton. Kita harus menjadi aktor perubahan.
Gerakan Rakyat bukan sekadar organisasi. Ini adalah barisan rakyat yang sadar, cerdas, dan berani bersuara.
Jika mereka menaikkan harga dan pajak dengan dalih perang, kita akan bertanya: "Kenapa tidak kalian bangun sejak damai?"
Jika mereka menyalahkan luar negeri, kita akan tunjukkan bahwa masalah ada di dalam negeri.
Dan jika mereka bungkam, kita akan bersuara lebih keras!
Penutup:
Perang mungkin terjadi di luar sana. Tapi perlawanan terhadap kebohongan dan manipulasi harus terjadi di sini, sekarang, oleh kita.
Karena jika rakyat terus diam, maka politik akan terus dijalankan oleh mereka yang menjadikan rakyat hanya statistik dan korban.
Bergabunglah dengan Gerakan Rakyat. Bersuaralah. Bersuara untuk kebenaran, keadilan, dan masa depan!
No comments:
Post a Comment