Kisah ini mungkin sudah berlalu sangat lama kurang lebih beberapa tahun
yang lalu. Tapi semua itu masih lekat tersimpan dalam benak saya. Betapa
saat itu saya melihat seorang wanita dengan sangat tabah dan tegar
mengantar kepergian sang suami tercinta ke pangkuan sang Khaliq.
Terbayang
dalam benakku peristiwa 12 tahun lalu, gambaran keceriaan seorang istri
yang baru saja mengetahui dirinya hamil. Dialah Ikah Triningsih. Yah..
saya masih ingat.. peristiwa ini terjadi sebelum kepergian suaminya, di
bulan April 2000.
Dibonceng suaminya yang mengendarai motor, Ikah
memberi kabar gembira kepada ibunya, "Ibu.. Ibu.. Alhamdulillah Ade
hamil", katanya di sela-sela deruan motor. Tak sempat berhenti, kabar
inipun disambut gembira sang ibu dengan memberi isyarat acungan jempol.
Ternyata pasangan muda itu baru saja pulang dari pemeriksaan bidan.
Kebetulan
di tengah jalan bertemu ibunya Ikah yang sedang belanja.
Alhamdulillah…kabar gembira itu pun tersebar di kalangan keluarga besar,
tak lupa pula mereka menyampaikan kabar ini kepada kedua anaknya di
rumah.
Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari yang terwarnai mual
dan pusing, sampai akhirnya Ikah harus dirawat di rumah sakit. "Ibu
diopname saja ya, harus diinfus", dokter menjelaskan pentingnya dirawat
di rumah sakit. Sebab, Ikah terlalu sering muntah sehingga kekurangan
cairan, sementara asupan makanan tidak sebanding.
Setelah
perawatan di rumah sakit selama satu minggu, kondisi Ikah semakin
membaik. Saat itu janin dalam kandungannya sudah memasuki empat bulan.
Hari-hari di rumah kembali ceria bersama anak dan suami.
Namun
ternyata perjuangan Ikah belum berakhir. Tiba-tiba kondisi kesehatan
suaminya menurun drastis. Rambutnya mulai rontok, nafsu makan berkurang
dan tubuhnya semakin kurus. Ikah heran, mengapa hal ini cepat terjadi.
Tanpa
Ikah ketahui, sebenarnya penyakit yang diderita suaminya sudah lama.
Sejak Ikah dirawat di rumah sakit, penyakit suaminya sudah mulai serius.
Hanya karena rasa cinta yang mendalam dan tak ingin memberatkan istri,
sang suami tak pernah mengeluh apalagi bercerita tentang kondisi
sebenarnya. Maklum saja, biaya berobat sangat mahal.
Suami Ikah
hanya ingin mengalokasikan uang yang terbatas untuk perawatan istri di
rumah sakit, sampai-sampai ia mengabaikan kepentingan dirinya sendiri.
Alhamdulillah
Ikah memiliki keluarga besar yang ringan tangan. Salah seorang adik
laki-lakinya kerap kali menjenguk dan bahkan turut membantu keuangan
kakaknya yang sedang ditimpa musibah.
Padahal dia sendiri punya
tanggungan keluarga: istri dan dua orang anak yang masih kecil. Atas
saran adik, akhirnya Ikah membawa suaminya ke pengobatan alternatif
tradisional .
Namun pengobatan alternatif ternyata bukan pula
solusi kesembuhan. Hanya dalam hitungan dua minggu setelah Ikah keluar
dari rumah sakit, terpaksa kini giliran Ikah mengatarkan suami ke rumah
sakit. Padahal kondisi kesehatan dirinya sendiri belum lagi pulih
seperti sedia kala.
Tak berapa lama menjalani perawatan di rumah
sakit, suaminya mengalami koma. Hati istri mana yang tak pilu melihat
suaminya dalam kondisi seperti itu. Sambil berdoa dan mengelus-elus
janin di perutnya yang semakin membesar, Ikah dengan tabahnya
mendampingi suami di rumah sakit.
Hanya sempat dirawat dua hari,
dokter yang menangani akhirnya angkat tangan dan merujuk ke rumah sakit
yang lebih besar. Alasannya, di rumah sakit yang lebih besar
peralatannya lebih lengkap. "Suami Ibu harus cuci darah", demikian jelas
dokter yang menangani. Dokter menduga suami Ikah mengalami kerusakan
ginjal sehingga meracuni otak kecil.
Ikah sempat bimbang, dari
mana ia mendapatkan biaya pengobatan yang begitu besar. Rumah sakit yang
menjadi rujukan dokter termasuk rumah sakit yang mahal. Namun kekuatan
iman membuat ia kembali tegar.
Tak sedikitpun ia mengeluh, Ikah
yakin betul semuanya adalah cobaan dari Allah. Dengan mantap Ikah
menyetujui pindah rumah sakit. Saat itu, sudah tidak ada alternatif
rumah sakit lain yang murah tapi juga dilengkapi peralatan cuci darah.
Sesampainya
di rumah sakit besar, dokter segera bertindak. Saat itu kakak kandung
Ikahlah yang menyelesaikan urusan administrasi. Allah Maha Tahu batas
kemampuan hambaNya dan Maha Pengabul doa seorang istri.
Semua
proses administrasi berjalan mudah. Saat diminta menandatangani
persetujuan tindakan cuci darah, kakak Ikah sempat berterus terang,
"Dok.. kami belum punya biaya pengobatan." Sambil tersenyum, dokter
menjawab, "Bu…saya hanya minta tanda tangan, karena bila tidak segera
cuci darah, adik ipar Ibu akan meninggal".
Mendengar penjelasan
dokter, Ikah sangat bersyukur tapi sekaligus tersadar betapa gawat
kondisi suaminya. Tak urung Ikah menangis sambil merangkul kakaknya,
"Teh …. saya masih mau bersamanya, saya belum sanggup untuk hidup
sendiri". Dengan kerongkongan yang tercekat menahan tangis si kakak
menimpali, "Sabar ya, kalau memang itu harus terjadi, kan ada Allah dan
Teteh yang selalu bersama kamu."
Satu minggu sudah sang suami di
rumah sakit dan dalam satu minggu itu pula suaminya menjalani tiga kali
cuci darah. Alhamdulillah kondisinya semakin membaik dan dokter
membolehkan pulang. Itupun karena permintaan pasien yang khawatir biaya
pengobatan membengkak.
Sesampainya di rumah, mulailah Ikah dengan
sabar dan telaten merawat suami dan membeli obat-obatan. Kini Ikah
menjadi tulang punggung keluarganya sendiri, merangkap menjadi ibu
sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Ikah tahu diri dan tak ingin selalu
merepotkan kakak maupun adiknya. Oleh sebab itu ia mencoba mencari
penghasilan sendiri dengan menjual barang-barang di rumahnya.
Allah
ternyata masih menguji ketabahan Ikah. Selama perawatan di rumah,
tiba-tiba suaminya kembali koma dan harus segera dilarikan ke rumah
sakit untuk cuci darah. Lagi-lagi Ikah harus tabah menyaksikan suaminya
cuci darah.
Di sela-sela ketabahannya, Ikah memanjatkan doa
kepada Allah yang Maha Kuasa, "Ya Allah jangan dulu mengambil suamiku,
aku belum sanggup untuk ditinggal." Bulir-bulir air mata Ikah, sering
kali meluncur saat melantunkan doa nya. Suatu hal yang sangat manusiawi,
seorang istri tidak ingin kehilangan suaminya. Dua hari setelah cuci
darah yang ketujuh suami Ikah kembali payah, padahal sebelumnya sempat
membaik.
Menyadari penderitaan suaminya yang amat sangat, Ikah
terlihat begitu pasrah, biarlah Allah menentukan apa yang terbaik bagi
suaminya. Bahkan menurut dokter kerusakan ginjal sudah mencapai pada
otak besar. Betapa pilu hati Ikah melihat dan keringat yang keluar dari
tubuh suaminya bukan lagi cairan bening melainkan darah dan matanyapun
sudah tidak dapat melihat lagi.
Dengan penuh kasih sayang Ikah
menyeka buliran darah yang keluar dari tubuh suaminya, sambil terus
memberi semangat suami. Kesedihan hati Ikah mencapai titik puncak di
saat dia melihat suaminya sudah tidak lagi bisa makan dan minum dengan
normal.
Tepat pada haru Sabtu 2 September 2000, pagi itu si suami
minta Ikah agar mengantarnya ke kamar kecil untuk buang air besar.
Inilah terakhir kali Ikah memapah dan membersihkan suaminya setelah
buang hajat. Setelah itu suaminya memohon agar adik laki-laki Ikah untuk
datang. Inikah tanda perpisahan semakin dekat? Hati kecil Ikah
membantin. Kepada sang adik ipar suami Ikah mohon diantarkan pergi
menemui seorang tabib yang pernah mengobatinya.
Ditemani juga
dengan istri dan anaknya, disana ia minta dibacakan ayat-ayat suci
Al-Quran. Saat itu kondisi suami Ikah sudah semakin parah, ia sudah
tidak bisa bergerak. Dengan mata nanar namun masih sadar, di atas
pangkuan Ikah, suaminya lamat-lamat mengikuti lantunan ayat suci
Al-Quran.
Inilah detik-detik perpisahan seorang suami dengan
istrinya, seorang bapak dengan anaknya. Si Kecil Nisa yang baru berumur
lima tahun terisak melihat papanya menghadapi sakaratul maut, ia tahu
papanya akan meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.
Sebelum
ajal datang menjemput, suami Ikah sempat berpesan kepada adik iparnya
untuk menjaga Ikah. Kepada istri tercinta, ia pun sempat berpesan, bila
kelak janin yang dikandungnya lahir adalah anak laki-laki supaya diberi
nama Lutfy.
Sebelum menghembuskan nafas yang terakhir ia
berpamitan kepada Ikah. Sedangkan Ikah hanya dapat berkata tulus,
"Pergilah Pa. Ummi ikhlas kok. Semoga ini adalah yang terbaik buat
Papa." Kalimat itu begitu lancar meluncur dengan penuh kelembutan dan
ketenangan tanpa sedikitpun menitikkan air mata. Sekejap suasana
keharuan menyeruak dalam ruangan.
Pemandangan apa lagi yang
mengharukan, yang membuat hati begitu sangat tersentuh, melihat seorang
istri yang sedang hamil lima bulan sementara suaminya meninggal dalam
pangkuannya.
Tak sedikitpun si istri mengeluarkan air mata, hanya
kepasrahan dan keikhlasan yang nampak pada raut wajahnya. Sementara si
kecil Nisa hanya memandang dari jauh sambil terisak. Dia tahu bapaknya
telah pergi untuk selamanya.
Ya Allah, Engkau Maha Tahu kekuatan
dan kesiapan setiap hamba, dan sudah Engkau tuliskan di Lah Mahfuz
cobaan apa saja yang akan menimpa setiap hambaMu. Maka tabahkanlah dan
beri kekuatan untuk seorang istri yang kini harus merawat tiga anak
yatim.
Itulah kekuasaan Allah. Maka bila ajal telah datang tidak
dapat lagi dimundurkan atau dimajukan. Suami hanyalah titipan Allah.
Sesungguhnya segala sesuatu itu akan kembali kepada sang Pemilik.
~~~
Seperti yang dituturkan Ummu Mufais kepada Kharisma, saat mengenang kepergian sang kakak iparnya.
~ o ~
Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya ...
No comments:
Post a Comment